Artikel


 I.       Kisah rumit dari harian Pikiran Rakyat 

Semilir dingin udara pagi hari di kota Parahiyangan, dengan menyeruput teh panas ditemani  pisang goreng yang hangat, terasa kurang lengkap jika tidak dilengkapi dengan berita terkini dari sebuah harian Pikiran Rakyat (PR) yang telah tersohor di tanah Pasundan. Suasana seperti itu yang selalu diidamkan oleh orang-orang Jakarta dikala week end tiba  yang selalu menghabiskan waktunya di Kota Bandung, Namun tiba-tiba di suatu sore, saat senja kala tiba, penulis membuka Majalah Tempo, 26 Agustus 2007 halaman 98–99 menurunkan sebuah artikel ”Berebut Aset Pikiran Rakyat”. Ahli waris pemegang saham koran ”Pikiran Rakyat (PR) menuntut aset perusahaan. Pengelola surat kabar ini bisa jadi kesulitan membuktikan aset itu milik perusahaan. Artikel tersebut saya baca berulang-ulang, yang demikian kisah ringkasnya : PR  berdiri pada tahun 1966 oleh 24 pemegang saham pendiri, yang dipimpin oleh Atang Ruswita (AR) sejak 1966 hingga 2003. Saat ini oplahnya 150 ribu eksemplar per hari, dengan karyawan sebanyak 750 orang. Perusahaan berkembang pesat dengan melahirkan 6 koran lokal, percetakan dan radio swasta.  

  Atang Ruswita (AR) sebagai direktur dan Amir Zainum (AZ) sebagai presiden komisaris, yang juga selaku pendiri PR mempunyai gagasan bahwa sertipikat atas nama pribadi agar memudahkan pengurusan sertipikat hak milik.  Total  aset yang diatas namakan kepada 7 pemegang saham nilainya sekitar Rp 150 milyar. Ahli waris ke-6 pemegang saham pendiri yang namanya dipinjam oleh PR telah mengaku bahwa aset yang diatas namakan pribadi adalah milik perusahaan sehingga tidak ada masalah. Namun ahli waris AZ,  mengaku dirinyalah ahli waris yang sah atas harta benda yang diatas-namakan AZ, ayahnya. Jumlahnya 53 sertipikat luas 62.831 m2, bernilai puluhan miliar. Ahli waris tersebut adalah Amri AZ, Arevine AZ dan Bismarck AZ, yang ketiganya karyawan PR, saat ini telah di-nonjob-kan. Ketiganya menggugat di Pengadilan karena jalan damai telah gagal.   Menurut ahli hukum perdata Universitas Parahiyangan, Bandung, Wila Chandrawila Supriadi (WCS), pengatas-namaan aset perusahaan kepada pribadi menyalahi peraturan. Aset perusahaan harus diatas-namakan lembaga, meski sumber kekayaan itu dari pembayaran utang pihak ketiga. Cara yang ditempuh PR, bakal menyulitkan perusahaan di pengadilan. Pembuktian kasus perdata harus legal formal, bukan material. Menurut Agus Setiawan, juru bicara kantor pajak wilayah Jawa Barat, mengatakan dilihat dari segi pembayaran pajak, transaksi sebuah badan usaha dikenai pajak penghasilan (PPh) 15%, sedangkan transaksi perorangan cuma 5%. Jika ada perusahaan bertransaksi jual-beli tanah dan kemudian diatas-namakan pribadi, hal itu melanggar aturan. ”Jika melakukan ini, perusahaan bisa dituduh menghilangkan kewajiban membayar pajak 10%”. PR kini memang mengadapi badai, kejayaan  itu mulai meredup. Selain digugat Amri, 2 tahun belakangan keuangan perusahaan yang berdiri sejak tahun 1966 (41 tahun) juga bermasalah. Perusahaan mulai berupaya ”memangkasi” karyawannya, melakukan rasionalisasi dengan menawarkan pensiun dini, sesuatu yang sebenarnya tidak diharapkan oleh karyawan. 

II.          Kekuatan hukum nama yang tercantum dalam sertifikat tanah 

Pada suatu malam minggu, seorang teman bercerita tentang keluarganya, dimana ayahnya seorang ketua pengurus koperasi (KUD) di ujung timur Jawa Barat, yang merintis koperasi tersebut sejak kecil hingga besar dan mampu membeli aset berupa kantor yang digunakan untuk aktivitas koperasi. Pembelian kantor tsb atas diatas-namakan ketua pengurus. Kemudian salah satu anaknya menjadi manajer dan juga beberapa saudaranya ikut bekerja di koperasi tsb. Karena salah urus, maka koperasi tsb bangkrut, dan gedung koperasi tersebut tetap dikuasai oleh ketua pengurus karena secara hukum yang namanya tercatat di sertifikat adalah ketua pengurus. Sengketa atas harta, tidak hanya terjadi pada perusahaan, koperasi ataupun badan hukum lainnya tetapi juga bisa dalam anggota keluarga. Tidak jarang  terbaca di media bahwa, disaat kakek nenek dan orang tua sudah tiada, maka para cucu yang sudah berkurang rasa persaudaraan berebut warisan atas suatu tanah yang namanya masih tercantum nama kakek ataupun neneknya, walaupun secara historis dan faktual telah diberikan kepada salah satu ahli warisnya.   Alangkah bagusnya jika bisa diselesaikan secara kekeluargaan karena mereka semua berasal dari darah daging yang sama. Namun demikian karena ikatan persaudaraan yang mulai menipis dan banyaknya kepentingan ekonomi yang mengikutinya maka tidak jarang terjadi sengketa tanah warisan diselesaikan  secara hukum melalui pengadilan yang merupakan langkah akhir menuntut keadilan walaupun tidak murah biayanya. Untuk bisa adil, memang mahal biayanya. Menurut salah seorang notaris laris yang berpraktek di Jl. Jagalan, kota Solo (Jawa Tengah) yang juga pejabat pembuat akte tanah (PPAT) Doddy Nusantara,  menyatakan bahwa nama yang tertera di sertipikat merupakan satu-satunya bukti yang terkuat.  Dengan demikian walaupun dalam transaksi jual beli antar penjual dengan Badan Hukum (Perseroan Terbatas /PT, Koperasi dll) yang diatas namakan pribadi (pemegang saham, pengurus, ataupun manajer) dan dikuatkan dengan surat pernyataan ahli waris yang dibuat didepan notaris bahwa harta tsb milik bukan milik keluarganya tetapi milik koperasi/perusahaan, posisi PT/Koperasi tersebut tetap lemah dan tidak cukup kuat untuk meng-anulir kekuatan hukum nama seseorang yang tercantum di sertifikat. 

 III.       Apakah masalah tersebut bisa timbul di koperasi khususnya koperasi kredit?  

Uang tidak kenal saudara, negara maupun agama, Uang adalah netral, tergantung pihak mana yang akan menggunakan, bisa untuk niat baik dan jahat. Oleh karena itu sengketa uang atau harta dapat terjadi dimana saja, termasuk di Credit Union (CU).   Koperasi khususnya CU yang awal berdirinya pada umumnya dipelopori oleh beberapa keluarga, (belum berbadan hukum) dan setelah tumbuh berkembang menjadi besar kemudian memproklamirkan diri menjadi suatu koperasi yang berbadan hukum secara resmi dan diakui oleh pemerintah. Dalam pengelolaan aset-asetnya mungkin saja  masih kurang memperhatikan aspek legalitas khususnya atas tanah dan bangunan yang secara faktual dan finansial milik koperasi dan telah dicatat dalam laporan keuangan (neraca) yang bersangkutan. Namun jika diperiksa secara seksama baik oleh auditor independen maupun pengawas ternyata, tanah bangunan tersebut masih diatas-namakan oleh salah seorang pengurus ataupun manajemen koperasi tsb. Mungkin saja, pertimbangan awalnya hanya demi kepraktisan dan keekonomisan saja, misalnya agar sertifikat masih tetap HM (hak milik)  tidak berubah menjadi HGB (Hak Guna Bangunan), kalau suatu saat menjual mudah dan harga tetap tinggi. Tidak ada niatan untuk mengelabui pajak ataupun untuk penyelundupan aset koperasi. Hal tersebut jauh dari niat buruk para pendiri koperasi, karena ide awal pembentukan koperasi didorong semangat kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan para anggota.  Namun demikian semakin besar koperasi, dan sifatnya yang terbuka, sehingga anggota mencapai ribuan orang dan diantara mereka tidak saling kenal secara pribadi, maka semangat kekeluargaan yang tersisa saat ini tidak sekuat semangat kekeluargaan dulu dikala koperasi masih anggotanya sedikit, yang mungkin saja hanya terbatas pada anggota keluarga ataupun kerabat para pendiri. Oleh karena itu, perlu dibenahi aspek legalitas atas aset-aset koperasi baik aktiva tetap (tanah) maupun aset likuid seperti tabungan di Bank yang masih atas nama salah seorang pengurus ataupun manajemen. Menurut buku ”Bank Kaum Miskin” yang dikaran Muhammad Yunus, yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, antara lain disebutkan bahwa jumlah Credit Uniun (CU) seluruh Indonesia sebanyak 1.011, dengan jumlah anggota 668.346 orang, dan kekayaan sebesar Rp 2.304.181.285.362,-. (Buletin Koperasi Kredit, September 2006, hal 46).  Diantara  1.011 buah CU, apakah sudah berbadan hukum semuanya? Jika sudah berbadan hukum, apakah CU tersebut sudah melakukan perbuatan hukum? Apakah aset-aset koperasi baik aset likuid seperti tabungan/ giro di Bank, ataupun aktiva tetap seperti kantor, ataupun wisma pendidikan dll  milik CU sudah diatas-namakan Koperasi tersebut ataukah masih atas nama pendiri/ketua pengurus/ manajer? Jika belum, maka coba kita renungkan bersama, apakah hal tsb tidak menimbulkan bom waktu, yang setiap saat bisa meledak? Barangkali, pada generasi pertama, para pendiri CU masih aktif di kepengurusan ataupun manajemen tidak menjadi masalah, tetapi bagaimana dengan generasi kedua ataupun ketiga, dimana mereka tidak merasakan lagi ”kekeluargaan” sebagaimana para pendiri? Belajar dari kasus yang terjadi di Pikiran Rakyat (PR) tersebut, ternyata perusahaan ”kedamaian” hanya berlangsung sebentar, yaitu terjadi disaat para pendiri masih pegang peranan aktif. PR yang telah berbadan hukum, yang telah berkembang secara baik dan menjadi kebanggaan bumu parahiyangan, melupakan aspek hukum, badan hukum fungsinya di-kebiri, tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana mestinya, karena masih pinjam nama pemegang saham/ manajemen untuk aset-aset yang dimilikinya.  

 IV.       Kesimpulan dan Rekomendasi

  • Ternyata jawaban atas judul tersebut diatas, adalah aset koperasi yang dinamakan pribadi, tidak ada jaminan keamanan atas legalitasnya. Dan hal tsb melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia serta merugikan penerimaan keuangan negara. 

  • Pencantuman nama pribadi untuk asset koperasi juga tidak sesuai dengan Principles of CU Governance (draft), yang diterbitkan oleh World Council of Credit Union (WOCCU) meliputi individual (integrity, competence and commitment), internal (structure, continuity, balance and accountability) and external governance (transparency, compliance and public accountability). Dalam external governance (compliance) antara lain  disebutkan bahwa pengurus  CU diharapkan patuh terhadap setiap peraturan baik yang tersurat maupun yang tersirat, bekerja sama dengan pemerintah dan patuh terhadap hukum nasional yang berlaku.

  • Dengan membaca kisah kasus sebagaimana tersebut diatas, alangkah baiknya bagi para pendiri, pengurus dan pengelola koperasi kredit untuk melakukan langkah aktif membenahi kepemilikan aset koperasi sehingga tidak membebani generasi mendatang dengan warisan yang rumit, yaitu kemungkinan adanya suatu suatu gugatan hukum yang dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai niat tidak sejalan dengan para pendiri koperasi sebelumnya. Jangan menanam bom waktu, yang setiap waktu bisa meledak, menghancurkan lembaga CU yang telah dibangun dengan susah payah selama beberapa tahun.

  • Hal ini merupakan salah satu resiko hukum yang dihadapi oleh koperasi yang telah berbadan hukum, oleh karena itu, resiko hukum yang mungkin timbul tersebut harus dapat di-mitigasi (=dikurangi). Salah satu caranya adalah menepati peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.

  • Pilihan menjadi koperasi yang berbadan hukum memang mengandung konskuensi baik positif maupun negatif. Dengan berbadan hukum maka dapat dipercaya oleh masyarakat karena harta yang dititipkan akan membawa rasa aman. Dilain pihak, badan hukum tidak boleh memiliki suatu aset HM (Hak Milik) tetapi HGB (Hak Guna Bangunan), dan hal itu tidak perlu disesali, karena peraturan di Indonesia memang mengharuskan demikian.

  • Khususnya bagi para pengawas ataupun auditor independent (Puskopdit) yang mengaudit koperasi kredit untuk tidak jemu-jemu mencantumkan temuan aspek legalitas ini, agar pengurus memperhatikan dan memperbaiki kondisi yang berisiko tersebut.

  • Langkah yang harus ditempuh adalah:

i.        Mengurus NPWP (Nomer Pokok Wajib Pajak) ke kantor pajak.

·         Dengan memiliki NPWP, maka mendorong manajemen untuk melakukan pembukuan dan penyimpanan secara tertib, tepat, terbuka/transparant dan dapat dipertanggung-jawabkan, karena setiap tahun harus menyampaikan SPT (Surat Pemberitahuan) masa /tahunan dan pada saatnya nanti akan diperiksa oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP). Jika pembukuan tertib, dan dokumentasi lengkap taat pada prinsip-prinsip akuntansi maka  tidak perlu takut menghadapi pemeriksa pajak.

·         Perhitungan pajak penghasilan (PPh 21) atas karyawan dan manajer menjadi lebih transparan , dan aspek keadilan lebih terjaga karena setiap bulan / tahun harus melaporan SPT.

            

ii       Mengurus ke Bank untuk pembukaan rekening (tabungan/giro) sehingga uang milik koperasi ”diwadahi” oleh rekening yang tepat. Jika uang koperasi disimpan di bank atas nama pribadi, maka secara legal yang berhak atas uang tersebut adalah orang atau ahli waris yang namanya tercantum dalam buku/rekening bank tersebut.

ii.        Mengurus ke notaris nama balik dari pribadi ke koperasi  selagi yang namanya tercantum dalam sertifikat masih sehat dan dapat melakukan perbuatan hukum. Jika sudah almarhum, maka harus meminta persetujuan ahli warisnya lebih dulu. Jika ahli waris tinggal di satu wilayah mungkin tidak menjadi masalah, tetapi jika diluar wilayah perlu waktu untuk mengubunginya. Syukur kalau ahli waris tidak ada niat buruk, maka hanya masalah waktu pengurusan saja yang relatif lama, tepati jika tidak bersedia tanda-tangan maka urusan bisa menjadi repot dan perlu biaya mahal

Demikian tulisan ini disampaikan dengan maksud baik untuk mengingatkan pembaca akan munculnya suatu resiko hukum atas aset koperasi, jika tidak memperhatikan aspek legalitas.     (BA 1137)

 

SIMPANAN SWADAYA

 (SISWADA)

Latar Belakang

Simpanan Swadaya (SISWADA) sangat membantu Kopdit Melati untuk memupuk Modal Lembaga Kopdit. Siswada bisa terlaksana bila semua aggota Kopdit berpartisipasi aktif. Siswada membantu Kopdit agar bisa swadaya dalam permodalan.

Menabung di Siswada berarti punya simpanan untuk masa depan, sambil bisa ikut maraup kupon-kupon, guna meraih hadiah yang diundi setiap akhir tahun. Hadiah cukup menarik, mulai dari TV berwarna, Kulkas, Dispenser, sampai Sepeda Motor.

Prodak SISWADA

  1. SISWADA, atau Simpanan Swadaya adalah bentuk pelayanan keuangan yang mengarah pada prinsip Koperasi Kredit dalam bidang keuangan agar swadaya.

  2. SISWADA bisa diwariskan kepada anggota keluarga yang ditinggalkan, seandainya yang bersangkutan meninggal dunia.

  3. SISWADA, memupuk rasa solidaritas antar anggota Koperasi Kredit guna sedikit demi sedikit tertumpuk simpanan swadaya.

  4. SISWADA, merupakan penangkal yang ampuh melawan dana mahal dari luar Kopdit. Penyediaan dana murah dari anggota Kopdit diperuntukkan bagi anggota Kopdit yang membutuhkan.

 

 

Informasi selengkapnya dapat didownload brosurnya disini

  • Ketika jumlah kegagalan Edison sudah mencapai 9999, seorang wartawan bertanya kepadanya, “Apakah anda akan terus melakukan kegagalan sampai 10. 000 kali?” Jawab Edison: “I have not failed. I have just found 10.000 ways that will not work. Saya belum gagal, tapi saya menemukan 10 ribu cara yang tidak bisa digunakan. “Saya tidak berkecil hati sebab setiap kegagalan adalah bentuk lain dari langkah maju”.  “Hanya karena sesuatu terjadi meleset dari skenario perencanaan tidak berarti sia-sia tanpa guna”.     

  • Ketika Kolonel Harlan Sander (pendiri KFC) memulai usaha menjajakan konsep menggoreng ayam, beliau tidak langsung mendapat sambutan positif dari sejumlah restoran. Konon jumlah penolakan yang dialami sebelum akhirnya ada orang yang mengatakan YA mencapai 1009 kali, padahal saat itu usia pak kolonel adalah usia pensiunan yang menurut kacamata umum bukanlah usia yang layak untuk merintis usaha hanya untuk menerima penolakan sebanyak itu.  

  • Ketika Mr. Bata memutuskan pindah usaha dari garasi rumahnya di Zlin Cekoslowakia ke  Kanada bersama saudaranya yang selama ini mendampingi dirinya dalam berusaha,  tak tahunya di tengah jalan musibah tabrakan terjadi hingga membuat saudaranya meninggal. Jadilah akhirnya Mr. Bata melanjutkan usahanya seorang diri.  

Tiga contoh di atas memang terjadi pada orang lain dan di negara lain, tetapi kalau kita lihat lebih jauh lagi ternyata bukan kisah pada orang yang bernama si anu dan karena hidup di negara anu tetapi kisah tentang seorang anak manusia, hamba Tuhan, yang taat pada tatanan hukum alam tentang bagaimana sebuah ide atau peristiwa, dijadikan petunjuk untuk bertindak dan bagaimana tindakan itu pada akhirnya menjadi sebuah prestasi. Di sini pun kita mengenal nama sejumlah pengusaha yang juga mengalami kisah perjalanan serupa termasuk misalnya Pak Hengky pemilik Bakmi Japos, dan lain-lain.  

Salah satu pertanyaan yang pantas kita ajukan kepada diri kita  adalah, mengapa mereka punya sedemikian besarnya ketahanan, punya sedemikian hebatnya ketaatan? Terlalu mengada-ngadakah bila kita bersumpah tidak gagal padahal kegagalan itu nyata-nyata terjadi di depan mata atau dialami oleh diri kita? 

Batasan DEFINISI Kegagalan

Menurut kamus, definisi adalah batasan, atau  pernyataan mental yang kita gunakan untuk membatasi guna mendapatkan perbedaan (the statement that defines). Perbedaan di tingkat definisi inilah faktor mendasar yang membedakan Mr. Bata dan bata yang lain, Edison dan edison  yang lain, atau Sander dan sejumlah sander lain di dunia ini. Menelaah hasil pengalaman alamiah sejumlah orang berprestasi dan hasil temuan ilmiah para pakar, ada tiga batasan (definisi) mendasar yang membedakan, yaitu:  

  1. Batasan Kuantitas   Batasan Kuantitas ini adalah hitungan angka atau semacamnya yang kita gunakan untuk mendefinisikan kegagalan kita.  Belajar dari kisah di atas dan sejumlah orang lain yang sudah berprestasi ternyata mereka menetapkan batas yang lebih luas atau batasan yang tidak terbatas. Edison tidak menjadikan  hitungan kegagalan sebagai batas, kolonel sander tidak menjadikan angka umur dan angka penolakan sebagai batas. Mereka menjadikan kesetiaan yang tak terbatas sebagai batas sehingga kegagalan yang dialami menempati posisi yang tidak berlawanan dengan kesuksesan yang diinginkan.   Hal ini berbeda dengan yang biasa ditemukan di kebanyakan orang yang menggunakan angka frekuensi, angka umur atau angka nominal sebagai pembatas untuk menghakimi gagal dan tidaknya sebuah usaha. Tidak berarti salah total memang, tetapi yang perlu kita audit adalah, jangan-jangan ketetapan angka yang kita bikin sendiri itulah yang menyiksa kita selama ini. Sebab kalau kita teliti lebih jauh, ternyata angka bukanlah berperan sekedar angka tetapi punya pengaruh riil terhadap ketahanan dan ketaatan kita dilapangan.  Kalau kita menetapkan hitungan seribu kali setidaknya meskipun kita gagal tujuh ratus kali, semangat kita masih hidup tetapi ketika batasan kita hanya ke angka lima ratus, angka kegagalan sebanyak tujuh ratus kali adalah angka yang sangat membebani pikiran kita. Beban di pikiran akan berpengaruh pada beban di praktek, beban di praktek akan berpengaruh pada beban di hasil, beban di hasil akan berpengaruh pada beban di kehidupan kita. Bisa jadi kalau batasan yang kita tetapkan terlalu sempit, kegagalan kita sebenarnya tidak membatasi usaha kita meraih kesuksesan tetapi opini kita tentang kegagalanlah yang membatasinya.  Hal lain yang perlu kita waspadai dengan angka yang kita ciptakan sendiri. Samuel Somerset  pernah mengatakan, kita umumnya menolak sesuatu (kecuali sesuatu yang kita inginkan), namun justru sesuatu itulah yang sering ditawarkan kepada kita oleh hidup ini. Ketika kita sudah menetapkan angka 100 hari adalah batas untuk menghakimi usaha – biasanya yang terjadi justru meleset. Dalam hari yang ke-100 usaha kita belum juga membawa hasil yang jelas karena berbagai proses yang dihadapi selama perjalanan usaha. 

  2. Batasan Kualitas   Batasan Kualitas yang dimaksudkan di sini adalah sasaran dari usaha kita. Belajar dari tradisi kehidupan orang berprestasi tinggi, ternyata mereka punya sasaran hidup yang tinggi bahkan tidak menjadikan sasaran itu sebagai batas akhir (destination), tetapi sasaran perantara untuk mencapai sasaran berikutnya. Sasaran yang tinggi seperti yang diakui oleh Mohamad Ali adalah hiburan yang bisa menyembuhkan kita dari kebrutalan realita. Sasaran yang tinggi menurut Jackie Chan bisa membuat kita mampu memaafkan kegagalan kecil yang tidak menjadi ukuran utama.  Menurut aritmatika kehidupan, apa yang dikatakan oleh Zig Ziglar  nampaknya banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari bahwa kalau usaha kita punya sasaran menembus bulan, setidak-tidaknya walaupun meleset, landing-nya akan ke bintang. Mungkin inilah yang bisa menjawab rahasia mengapa orangtua kita dulu menyarankan bercita-cita tinggi. Kalau kita tidak untung dari hasil cita-cita setidaknya kita akan untung dari hasil semangat cita-cita.  Hal ini akan berbeda ketika sasaran dari aktivitas kita rendah. Tidak berarti salah – karena kita juga terkadang perlu memperhitungkan banyak hal – tetapi yang terpenting adalah, jangan sampai hidup kita terlalu mudah disiksa oleh problem yang muncul di tengah-tengah usaha mencapai sasaran. Lebih-lebih lagi jika sasaran yang rendah itu kita yakini dan tetapi hidup mati. Munculnya problem bukanlah jembatan bagi kita untuk naik tetapi bisa semacam tanah longsor yang mengubur imajinasi kita.  

  3. Batasan Rasionalitas   Apa yang saya maksudkan dengan Batasan Rasionalitas di sini adalah batasan yang rasional antara usaha dan manusia yang menciptakan usaha. Belajar dari mereka yang sudah berprestasi di bidangnya ternyata mereka sudah mampu membedakan antara definisi “Apa & Siapa”. Usaha mereka memang gagal tetapi mereka tidak menciptakan definisi-diri sebagai orang gagal, dan inilah yang lebih rasional. Karena mereka tetap berpikir sebagai orang yang punya alasan untuk sukses maka kegagalan yang terjadi pada usahanya tidak membuat mereka menggagalkan diri. 

Hal ini akan berbeda ketika kita gagal dalam usaha, lantas membuat definisi yang menyamaratakan antara kita dan usaha kita. Dalam praktek hidup, kegagalan usaha itu bukanlah pilihan tetapi konsekuensi yang tidak bisa dipilih sedangkan definisi-diri sebagai orang gagal adalah pilihan kita. Definisi-diri ini sudah diakui oleh baik temuan ilmiah atau ajaran kitab suci apapun sebagai kekuatan yang punya pengaruh riil terhadap prilaku kita. Ketika kita putus asa dapat dipastikan bahwa definisi-diri yang kita ciptakan atas diri kita bukanlah seorang warrior (jagoan) tetapi seorang loser (pecundang).  Para pakar pengetahuan sudah bekerja banyak mengabarkan sesuatu kepada kita bahwa level harga-diri (selfesteem) adalah level yang menentukan level semangat untuk mengalahkan kegagalan atau dikalahkan oleh kegagalan. Semua itu tak bisa dilepaskan dari harga yang kita patok buat diri kita.  

Proses Belajar

Hidup ini 20% skill dan 80% strategi, begitulah kira-kira yang pernah disimpulkan oleh Jim Rohn. Hidup ini 10% apa yang terjadi dan 90% adalah stretagi mengatasi apa yang terjadi, kata Charles Swindoll. Keberhasilan itu 20% bakat dan 80% adalah stretegi mengembangkan bakat, kata temuan Harvard University tahun 1990-an. Kemenangan itu 50% fisik dan skill dan 50% strategi mental, menurut falsafah psikologi olahraga. Mungkin inilah rahasia mengapa individu, masyarakat atau bangsa yang sudah maju itu lebih gampang meraih kemajuan karena mereka sudah lebih banyak mengantongi strategi yang diwariskan atau yang didapatkan.  Kalau itu bisa kita jadikan petunjuk berarti semua orang tanpa terkecuali punya potensi untuk kalah oleh kegagalan dan potensi untuk menang melawan kegagalan, tergantung sebagian besarnya pada strategi yang dipilih. Sebagai salah satu strategi berikut ini bisa kita pilih sebagai acuan: 

  1. Manajemen  Strategi membutuhkan manajamen berpikir dan bertindak yang berbeda. Berpikir, ber-cita-cita, ber-sasaran, ber-target, dan bergagasan memang harus tinggi setinggi bintang yang kita bayangkan tetapi giliran bertindak, berjalan, dan ber-praktek harus dimulai dari yang terkecil, terdekat, dan dari “asset” atau kemampuan yang paling banyak tersedia di dalam diri kita sehingga ketika kegagalan terjadi masih bisa kita deteksi asal-usulnya. Apa yang menimpa perusahaan besar sama seperti apa yang menimpa diri kita bahwa munculnya “gap knowing-doing” adalah sumber pemborosan energi dan materi karena lemahnya manajemen berpikir dan bertindak.  

  2. Berpedoman kompas  Berpedoman pada kompas berarti menjadikan arah (direction), tujuan (goal) dan target sebagai petunjuk dan sebagai ukuran. Berarti pula kita perlu meninggalkan gaya hidup yang diatur oleh  angka-angka “jam kegagalan” karena angka itu bukan tujuan atau sasaran kita. Anthony Robbin menyarankan, gunakan waktu untuk memikirkan angka kegagalan 10% saja dan gunakan 90%  waktu untuk berpikir kompas solusi, penyelesaian, kemajuan dan tindakan. 

  3. Mencari sumber keteladanan   Untuk memperluas definisi kegagalan yang sempit, sumber teladan yang kita butuhkan adalah orang yang sudah lebih tinggi prestasinya dari kita; orang yang lebih kuat daya tahannya dari kita. Mark Twain pernah menulis, mendekati orang besar akan menambah keyakinan-diri bahwa kita pun bisa menjadi besar seperti orang itu. Dari saluran “energi ketularan” yang mengalir secara alamiah,  tehnik perbandingan positif ini (positive comparison game)  ternyata telah mampu menolong banyak orang. 

  4. Pembaharuan Diri  Strategi pembaharuan (self-renewal) yang sudah teruji secara ilmiah dan alamiah adalah menambah 3P (pengetahuan, pengalaman dan pembelajaran). Hal ini seperti yang diakui oleh Gib Atkin bahwa pembelajaran yang kita tambah bukanlah sekedar kekayaan yang kita miliki tetapi juga kekuatan yang membentuk definisi-diri yang baru. Berubahnya isi mindset (pikiran, perasaan dan keyakinan) akan menjadi jembatan berubahnya sikap mental, menjadi jembatan berubahnya sistem tindakan dan menjadi jembatan berubahnya hasil. 

  5. Membuktikan keyakinan  Mahatma Gandhi mengakui bahwa tebalnya tembok penjara penjajah masih belum setebal tembok pembatas yang kita bangun sendiri di dalam (self-limiting belief). Meskipun sebenarnya kita punya ketahanan dan bakat untuk sukses di bidang kita tetapi kalau kita sudah tidak yakin, kemungkinan besar kemampuan kita mubazir. Apa yang kita yakini adalah apa yang sering terjadi dan apa yang sudah biasa terjadi adalah apa yang sudah sering kita yakini.    Merobohkan tembok mental semacam itu seringkali tidak cukup dengan mulut atau dengan mengganti keyakinan tetapi juga perlu pembuktian (challenging belief) melalui aksi pribadi. Benarnya materi keyakinan kita sudah dibenarkan oleh orang lain ribuan tahun lalu tetapi itu akan menjadi tidak benar buat kita kalau kita tidak benar-benar melakukan pembuktian sendiri. Jika kita yakin tak ada kesuksesan tanpa kegagalan, ini namanya kebenaran umum yang sudah jelas benar tetapi benar dan tidaknya buat kita tergantung pembuktian kita.

Selamat membuktikan!

Tak cukup hanya mengandalkan pengalaman dan daya intuisi untuk memulai sebuah bisnis. Lebih dari itu seorang calon pebisnis kini kian dituntut untuk melakukan studi kelayakan pada bisnis yang ingin dijalankan. Bukan hanya sekedar untuk kepentingan menilai kelayakan usaha yang akan dibangun, studi kelayakan saat ini sudah menjadi keharusan bagi calon pebisnis untuk kepentingan memulai bisnis.Seperti diuraikan oleh Ahmad Subagyo, seorang bankir dan penulis buku studi kelayakan usaha pada website-nya yang bernama www.studikelayakan.com.  “Awalnya studi kelayakan (SK) diperlukan hanya untuk menilai kelayakan usaha skala menengah dan besar, namun dekade ini studi kelayakan juga menjadi pra syarat kelengkapan kredit calon debitur baik usaha besar, menengah maupun kecil. Selain itu calon investor dalam menilai kelayakan bisnis yang akan didanainya selalu mensyaratkan adanya SK demikian juga pemerintah dalam pemberian ijin operasional juga mensyaratkan laporan SK,” urainya. Lantas bagian apa saja yang harus diperhatikan calon pebisnis dalam membuat suatu SK? Masih dari sumber yang sama, disebutkan bahwa tidak ada cara yang baku dalam metode penyusunan studi kelayakan. Namun pada umumnya SK terdiri dari beberapa aspek, minimal terdiri dari :

  1. aspek pasar dan pemasaran,
  2. aspek teknis produksi dan teknologis,
  3. aspek manajemen,
  4. aspek legal dan perijinan, dan
  5. aspek keuangan.

Pada aspek pasar dan pemasaran calon pebisnis perlu meninjau beberapa hal penting.

Tinjauan mengenai latar belakang bisa menjelaskan mengenai kronologis produk dan alasan mengapa objek tersebut dipilih, serta kondisi pasar atas produk secara umum. Berikutnya adalah masalah permintaan yang berisi tentang data jumlah permintaan terhadap produk berdasarkan data primer hasil survey, riset pasar, maupun data sekunder yang diperoleh dari sumber lain, misalnya data BPS, Lembaga Riset Nasional, dan laporan publikasi. Setelah mendapatkan data permintaan, selanjutnya dari data tersebut di proyeksikan ke depan (proyeksi permintaan), bagaimana kecenderungan permintaannya, ada kenaikan atau sebaliknya.

Sementara pada bagian penawaran menjelaskan tentang jumlah produk sejenis yang ditawarkan oleh perusahaan lain, atau jumlah produk sejenis yang ada di pasaran, volume produksi perusahaan – perusahaan sejenis, sumber data lainnya yang dapat dimanfaatkan adalah data dari pengguna produk sejenis. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya yaitu permintaan dan penawaran , maka dapat dilakukan analisis peluang yaitu selisih antara permntaan dan penawaran.

Perlu juga mendefinisikan produk yang menjelaskan tentang kualitas, spesifikasi, kemasan, bentuk fisik, material yang digunakan, dan nama produk (brand), disamping harga yang menjelaskan tentang metode penetapan harga yang digunakan, dan berapa harga yang ditetapkan untuk produk yang akan dilaunching.   Tak kalah penting di bagian pasar dan pemasaran ini yang dilihat adalah jalur distribusi ke konsumen. Dalam hal promosi, ditentukan media apa yang akan digunakan untuk mempromosikan produk, berapa biayanya dan dalam waktu berapa lama.

Selain juga strategi pemasaran yang digunakan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil oleh calon pebisnis berdasarkan data-data sebelumnya. Calon pebisnis juga perlu menentukan posisi yang tepat, apa saja kekuatan dan kelemahan perusahaan saat ini, dan peluang serta ancaman apa yang akan dihadapi oleh perusahaan dengan menggunakan analisis SWOT.

Menentukan langkah dan strategi yang tepat atau keputusan strategi, sehingga produk dan perusahaan akan berhasil dalam persaingan. Dari penulusuran-penulusuran tersebut barulah calon pebisnis bisa melakukan penilaian kelayakan, apakah objek studi berdasarkan aspek pasar dan pemasaran ini dapat dinilai layak atau tidak.  Pada bagian berikut, yaitu aspek teknis dan produksi, Ahmad menjabarkan seleksi produk, deskripsi produk, mesin dan teknologi yang akan digunakan, lokasi usaha, proses produksi, lay out fasilitas mesin dan pabrik, serta luas dan kapasitas produksi.  

Sedangkan pada bidang manajemen dan sumberdaya manusia calon pebisnis diajak mempersiapkan struktur organisasi, analisis dan deskripsi pekerjaan, rekrutmen dan seleksi, sistem kompensasi, program pengembangan karyawan, dan sistem informasi manajemen. Beberapa masalah yang harus diperhatikan dalam aspek hukum dan legalitas diantaranya badan hukum, dan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta jenis-jenis ijin yang diperlukan.

Pada aspek keuangan dan ekonomi, bisa dilihat masalah seperti modal kerja, modal investasi, proyeksi laporan keuangan, penilaian investasi, yang kemudian bisa membuat analisa dengan rasio keuangan dalam bentuk tingkat likuiditas atau rasio profitabilitas misalnya. 

Agar studi bisa memberikan hasil yang maksimal, sebaiknya data serta sumber informasi yang digunakan valid, dan up to date.

Berikut ini 10 langkah yang bisa memandu pebisnis menyusun bisnis dam membuatnya sukses.

  1. Kerjakan apa yang Anda sukai. Anda akan mencurahkan banyak waktu dan energi untuk memulai sebuah bisnis dan membangunnya menjadi usaha yang berhasil, jadi sangat penting bahwa Anda sangat menikmati secara mendalam apa yang Anda kerjakan, apakah menjalankan sewa pemancingan, mengkreasikan tembikar atau memberikan nasehat keuangan. (lebih…)