Koperasi


 I.       Kisah rumit dari harian Pikiran Rakyat 

Semilir dingin udara pagi hari di kota Parahiyangan, dengan menyeruput teh panas ditemani  pisang goreng yang hangat, terasa kurang lengkap jika tidak dilengkapi dengan berita terkini dari sebuah harian Pikiran Rakyat (PR) yang telah tersohor di tanah Pasundan. Suasana seperti itu yang selalu diidamkan oleh orang-orang Jakarta dikala week end tiba  yang selalu menghabiskan waktunya di Kota Bandung, Namun tiba-tiba di suatu sore, saat senja kala tiba, penulis membuka Majalah Tempo, 26 Agustus 2007 halaman 98–99 menurunkan sebuah artikel ”Berebut Aset Pikiran Rakyat”. Ahli waris pemegang saham koran ”Pikiran Rakyat (PR) menuntut aset perusahaan. Pengelola surat kabar ini bisa jadi kesulitan membuktikan aset itu milik perusahaan. Artikel tersebut saya baca berulang-ulang, yang demikian kisah ringkasnya : PR  berdiri pada tahun 1966 oleh 24 pemegang saham pendiri, yang dipimpin oleh Atang Ruswita (AR) sejak 1966 hingga 2003. Saat ini oplahnya 150 ribu eksemplar per hari, dengan karyawan sebanyak 750 orang. Perusahaan berkembang pesat dengan melahirkan 6 koran lokal, percetakan dan radio swasta.  

  Atang Ruswita (AR) sebagai direktur dan Amir Zainum (AZ) sebagai presiden komisaris, yang juga selaku pendiri PR mempunyai gagasan bahwa sertipikat atas nama pribadi agar memudahkan pengurusan sertipikat hak milik.  Total  aset yang diatas namakan kepada 7 pemegang saham nilainya sekitar Rp 150 milyar. Ahli waris ke-6 pemegang saham pendiri yang namanya dipinjam oleh PR telah mengaku bahwa aset yang diatas namakan pribadi adalah milik perusahaan sehingga tidak ada masalah. Namun ahli waris AZ,  mengaku dirinyalah ahli waris yang sah atas harta benda yang diatas-namakan AZ, ayahnya. Jumlahnya 53 sertipikat luas 62.831 m2, bernilai puluhan miliar. Ahli waris tersebut adalah Amri AZ, Arevine AZ dan Bismarck AZ, yang ketiganya karyawan PR, saat ini telah di-nonjob-kan. Ketiganya menggugat di Pengadilan karena jalan damai telah gagal.   Menurut ahli hukum perdata Universitas Parahiyangan, Bandung, Wila Chandrawila Supriadi (WCS), pengatas-namaan aset perusahaan kepada pribadi menyalahi peraturan. Aset perusahaan harus diatas-namakan lembaga, meski sumber kekayaan itu dari pembayaran utang pihak ketiga. Cara yang ditempuh PR, bakal menyulitkan perusahaan di pengadilan. Pembuktian kasus perdata harus legal formal, bukan material. Menurut Agus Setiawan, juru bicara kantor pajak wilayah Jawa Barat, mengatakan dilihat dari segi pembayaran pajak, transaksi sebuah badan usaha dikenai pajak penghasilan (PPh) 15%, sedangkan transaksi perorangan cuma 5%. Jika ada perusahaan bertransaksi jual-beli tanah dan kemudian diatas-namakan pribadi, hal itu melanggar aturan. ”Jika melakukan ini, perusahaan bisa dituduh menghilangkan kewajiban membayar pajak 10%”. PR kini memang mengadapi badai, kejayaan  itu mulai meredup. Selain digugat Amri, 2 tahun belakangan keuangan perusahaan yang berdiri sejak tahun 1966 (41 tahun) juga bermasalah. Perusahaan mulai berupaya ”memangkasi” karyawannya, melakukan rasionalisasi dengan menawarkan pensiun dini, sesuatu yang sebenarnya tidak diharapkan oleh karyawan. 

II.          Kekuatan hukum nama yang tercantum dalam sertifikat tanah 

Pada suatu malam minggu, seorang teman bercerita tentang keluarganya, dimana ayahnya seorang ketua pengurus koperasi (KUD) di ujung timur Jawa Barat, yang merintis koperasi tersebut sejak kecil hingga besar dan mampu membeli aset berupa kantor yang digunakan untuk aktivitas koperasi. Pembelian kantor tsb atas diatas-namakan ketua pengurus. Kemudian salah satu anaknya menjadi manajer dan juga beberapa saudaranya ikut bekerja di koperasi tsb. Karena salah urus, maka koperasi tsb bangkrut, dan gedung koperasi tersebut tetap dikuasai oleh ketua pengurus karena secara hukum yang namanya tercatat di sertifikat adalah ketua pengurus. Sengketa atas harta, tidak hanya terjadi pada perusahaan, koperasi ataupun badan hukum lainnya tetapi juga bisa dalam anggota keluarga. Tidak jarang  terbaca di media bahwa, disaat kakek nenek dan orang tua sudah tiada, maka para cucu yang sudah berkurang rasa persaudaraan berebut warisan atas suatu tanah yang namanya masih tercantum nama kakek ataupun neneknya, walaupun secara historis dan faktual telah diberikan kepada salah satu ahli warisnya.   Alangkah bagusnya jika bisa diselesaikan secara kekeluargaan karena mereka semua berasal dari darah daging yang sama. Namun demikian karena ikatan persaudaraan yang mulai menipis dan banyaknya kepentingan ekonomi yang mengikutinya maka tidak jarang terjadi sengketa tanah warisan diselesaikan  secara hukum melalui pengadilan yang merupakan langkah akhir menuntut keadilan walaupun tidak murah biayanya. Untuk bisa adil, memang mahal biayanya. Menurut salah seorang notaris laris yang berpraktek di Jl. Jagalan, kota Solo (Jawa Tengah) yang juga pejabat pembuat akte tanah (PPAT) Doddy Nusantara,  menyatakan bahwa nama yang tertera di sertipikat merupakan satu-satunya bukti yang terkuat.  Dengan demikian walaupun dalam transaksi jual beli antar penjual dengan Badan Hukum (Perseroan Terbatas /PT, Koperasi dll) yang diatas namakan pribadi (pemegang saham, pengurus, ataupun manajer) dan dikuatkan dengan surat pernyataan ahli waris yang dibuat didepan notaris bahwa harta tsb milik bukan milik keluarganya tetapi milik koperasi/perusahaan, posisi PT/Koperasi tersebut tetap lemah dan tidak cukup kuat untuk meng-anulir kekuatan hukum nama seseorang yang tercantum di sertifikat. 

 III.       Apakah masalah tersebut bisa timbul di koperasi khususnya koperasi kredit?  

Uang tidak kenal saudara, negara maupun agama, Uang adalah netral, tergantung pihak mana yang akan menggunakan, bisa untuk niat baik dan jahat. Oleh karena itu sengketa uang atau harta dapat terjadi dimana saja, termasuk di Credit Union (CU).   Koperasi khususnya CU yang awal berdirinya pada umumnya dipelopori oleh beberapa keluarga, (belum berbadan hukum) dan setelah tumbuh berkembang menjadi besar kemudian memproklamirkan diri menjadi suatu koperasi yang berbadan hukum secara resmi dan diakui oleh pemerintah. Dalam pengelolaan aset-asetnya mungkin saja  masih kurang memperhatikan aspek legalitas khususnya atas tanah dan bangunan yang secara faktual dan finansial milik koperasi dan telah dicatat dalam laporan keuangan (neraca) yang bersangkutan. Namun jika diperiksa secara seksama baik oleh auditor independen maupun pengawas ternyata, tanah bangunan tersebut masih diatas-namakan oleh salah seorang pengurus ataupun manajemen koperasi tsb. Mungkin saja, pertimbangan awalnya hanya demi kepraktisan dan keekonomisan saja, misalnya agar sertifikat masih tetap HM (hak milik)  tidak berubah menjadi HGB (Hak Guna Bangunan), kalau suatu saat menjual mudah dan harga tetap tinggi. Tidak ada niatan untuk mengelabui pajak ataupun untuk penyelundupan aset koperasi. Hal tersebut jauh dari niat buruk para pendiri koperasi, karena ide awal pembentukan koperasi didorong semangat kekeluargaan dan solidaritas yang tinggi untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan para anggota.  Namun demikian semakin besar koperasi, dan sifatnya yang terbuka, sehingga anggota mencapai ribuan orang dan diantara mereka tidak saling kenal secara pribadi, maka semangat kekeluargaan yang tersisa saat ini tidak sekuat semangat kekeluargaan dulu dikala koperasi masih anggotanya sedikit, yang mungkin saja hanya terbatas pada anggota keluarga ataupun kerabat para pendiri. Oleh karena itu, perlu dibenahi aspek legalitas atas aset-aset koperasi baik aktiva tetap (tanah) maupun aset likuid seperti tabungan di Bank yang masih atas nama salah seorang pengurus ataupun manajemen. Menurut buku ”Bank Kaum Miskin” yang dikaran Muhammad Yunus, yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, antara lain disebutkan bahwa jumlah Credit Uniun (CU) seluruh Indonesia sebanyak 1.011, dengan jumlah anggota 668.346 orang, dan kekayaan sebesar Rp 2.304.181.285.362,-. (Buletin Koperasi Kredit, September 2006, hal 46).  Diantara  1.011 buah CU, apakah sudah berbadan hukum semuanya? Jika sudah berbadan hukum, apakah CU tersebut sudah melakukan perbuatan hukum? Apakah aset-aset koperasi baik aset likuid seperti tabungan/ giro di Bank, ataupun aktiva tetap seperti kantor, ataupun wisma pendidikan dll  milik CU sudah diatas-namakan Koperasi tersebut ataukah masih atas nama pendiri/ketua pengurus/ manajer? Jika belum, maka coba kita renungkan bersama, apakah hal tsb tidak menimbulkan bom waktu, yang setiap saat bisa meledak? Barangkali, pada generasi pertama, para pendiri CU masih aktif di kepengurusan ataupun manajemen tidak menjadi masalah, tetapi bagaimana dengan generasi kedua ataupun ketiga, dimana mereka tidak merasakan lagi ”kekeluargaan” sebagaimana para pendiri? Belajar dari kasus yang terjadi di Pikiran Rakyat (PR) tersebut, ternyata perusahaan ”kedamaian” hanya berlangsung sebentar, yaitu terjadi disaat para pendiri masih pegang peranan aktif. PR yang telah berbadan hukum, yang telah berkembang secara baik dan menjadi kebanggaan bumu parahiyangan, melupakan aspek hukum, badan hukum fungsinya di-kebiri, tidak melakukan perbuatan hukum sebagaimana mestinya, karena masih pinjam nama pemegang saham/ manajemen untuk aset-aset yang dimilikinya.  

 IV.       Kesimpulan dan Rekomendasi

  • Ternyata jawaban atas judul tersebut diatas, adalah aset koperasi yang dinamakan pribadi, tidak ada jaminan keamanan atas legalitasnya. Dan hal tsb melanggar peraturan yang berlaku di Indonesia serta merugikan penerimaan keuangan negara. 

  • Pencantuman nama pribadi untuk asset koperasi juga tidak sesuai dengan Principles of CU Governance (draft), yang diterbitkan oleh World Council of Credit Union (WOCCU) meliputi individual (integrity, competence and commitment), internal (structure, continuity, balance and accountability) and external governance (transparency, compliance and public accountability). Dalam external governance (compliance) antara lain  disebutkan bahwa pengurus  CU diharapkan patuh terhadap setiap peraturan baik yang tersurat maupun yang tersirat, bekerja sama dengan pemerintah dan patuh terhadap hukum nasional yang berlaku.

  • Dengan membaca kisah kasus sebagaimana tersebut diatas, alangkah baiknya bagi para pendiri, pengurus dan pengelola koperasi kredit untuk melakukan langkah aktif membenahi kepemilikan aset koperasi sehingga tidak membebani generasi mendatang dengan warisan yang rumit, yaitu kemungkinan adanya suatu suatu gugatan hukum yang dimanfaatkan oleh mereka yang mempunyai niat tidak sejalan dengan para pendiri koperasi sebelumnya. Jangan menanam bom waktu, yang setiap waktu bisa meledak, menghancurkan lembaga CU yang telah dibangun dengan susah payah selama beberapa tahun.

  • Hal ini merupakan salah satu resiko hukum yang dihadapi oleh koperasi yang telah berbadan hukum, oleh karena itu, resiko hukum yang mungkin timbul tersebut harus dapat di-mitigasi (=dikurangi). Salah satu caranya adalah menepati peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.

  • Pilihan menjadi koperasi yang berbadan hukum memang mengandung konskuensi baik positif maupun negatif. Dengan berbadan hukum maka dapat dipercaya oleh masyarakat karena harta yang dititipkan akan membawa rasa aman. Dilain pihak, badan hukum tidak boleh memiliki suatu aset HM (Hak Milik) tetapi HGB (Hak Guna Bangunan), dan hal itu tidak perlu disesali, karena peraturan di Indonesia memang mengharuskan demikian.

  • Khususnya bagi para pengawas ataupun auditor independent (Puskopdit) yang mengaudit koperasi kredit untuk tidak jemu-jemu mencantumkan temuan aspek legalitas ini, agar pengurus memperhatikan dan memperbaiki kondisi yang berisiko tersebut.

  • Langkah yang harus ditempuh adalah:

i.        Mengurus NPWP (Nomer Pokok Wajib Pajak) ke kantor pajak.

·         Dengan memiliki NPWP, maka mendorong manajemen untuk melakukan pembukuan dan penyimpanan secara tertib, tepat, terbuka/transparant dan dapat dipertanggung-jawabkan, karena setiap tahun harus menyampaikan SPT (Surat Pemberitahuan) masa /tahunan dan pada saatnya nanti akan diperiksa oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP). Jika pembukuan tertib, dan dokumentasi lengkap taat pada prinsip-prinsip akuntansi maka  tidak perlu takut menghadapi pemeriksa pajak.

·         Perhitungan pajak penghasilan (PPh 21) atas karyawan dan manajer menjadi lebih transparan , dan aspek keadilan lebih terjaga karena setiap bulan / tahun harus melaporan SPT.

            

ii       Mengurus ke Bank untuk pembukaan rekening (tabungan/giro) sehingga uang milik koperasi ”diwadahi” oleh rekening yang tepat. Jika uang koperasi disimpan di bank atas nama pribadi, maka secara legal yang berhak atas uang tersebut adalah orang atau ahli waris yang namanya tercantum dalam buku/rekening bank tersebut.

ii.        Mengurus ke notaris nama balik dari pribadi ke koperasi  selagi yang namanya tercantum dalam sertifikat masih sehat dan dapat melakukan perbuatan hukum. Jika sudah almarhum, maka harus meminta persetujuan ahli warisnya lebih dulu. Jika ahli waris tinggal di satu wilayah mungkin tidak menjadi masalah, tetapi jika diluar wilayah perlu waktu untuk mengubunginya. Syukur kalau ahli waris tidak ada niat buruk, maka hanya masalah waktu pengurusan saja yang relatif lama, tepati jika tidak bersedia tanda-tangan maka urusan bisa menjadi repot dan perlu biaya mahal

Demikian tulisan ini disampaikan dengan maksud baik untuk mengingatkan pembaca akan munculnya suatu resiko hukum atas aset koperasi, jika tidak memperhatikan aspek legalitas.     (BA 1137)

 

SIMPANAN SWADAYA

 (SISWADA)

Latar Belakang

Simpanan Swadaya (SISWADA) sangat membantu Kopdit Melati untuk memupuk Modal Lembaga Kopdit. Siswada bisa terlaksana bila semua aggota Kopdit berpartisipasi aktif. Siswada membantu Kopdit agar bisa swadaya dalam permodalan.

Menabung di Siswada berarti punya simpanan untuk masa depan, sambil bisa ikut maraup kupon-kupon, guna meraih hadiah yang diundi setiap akhir tahun. Hadiah cukup menarik, mulai dari TV berwarna, Kulkas, Dispenser, sampai Sepeda Motor.

Prodak SISWADA

  1. SISWADA, atau Simpanan Swadaya adalah bentuk pelayanan keuangan yang mengarah pada prinsip Koperasi Kredit dalam bidang keuangan agar swadaya.

  2. SISWADA bisa diwariskan kepada anggota keluarga yang ditinggalkan, seandainya yang bersangkutan meninggal dunia.

  3. SISWADA, memupuk rasa solidaritas antar anggota Koperasi Kredit guna sedikit demi sedikit tertumpuk simpanan swadaya.

  4. SISWADA, merupakan penangkal yang ampuh melawan dana mahal dari luar Kopdit. Penyediaan dana murah dari anggota Kopdit diperuntukkan bagi anggota Kopdit yang membutuhkan.

 

 

Informasi selengkapnya dapat didownload brosurnya disini

Apakah produk sipita itu ?

  1. Kopdit Melati mulai meluncurkan produk Simpanan Kapitalisasi (SIPITA) pada bulan Januari 2004.

  2. Tabungan / Simpanan SIPITA adalah sarana tempat penyimpanan uang bagi anggota Kopdit Melati.

  3. Penabung dapat menabung di SIPITA, bila hendak membantu Kopdit Melati dalam menambah swadaya permodalan koperasi, tanpa memandang jumlah tabungan

  4. Tabungan SIPITA dapat dikaitkan dengan hak kelipatan pinjaman anggota  dan diasuransikan ke DAPERMA

  5. Tabungan SIPITA dicatat di BA dilembaran tersendiri.

  6. SIPITA mendapat bunga 5 % / tahun, atas saldo rata-rata akhir tahun.

  7. SIPITA disamping menampung tabungan anggota secara sukarela, namun juga merupakan suatu “Simpanan Wajib Khusus” bagi anggota yang meminjam uang Rp 5 juta (dan lebih), senilai 2 % dari pinjaman cair. Contoh : meminjam Rp 10 juta, maka terkena SIPITA = 2 % x Rp 10 juta = Rp 200.000,

  8. SIPITA, sangat membantu pemupukan modal bagi koperasi, sehingga banyak dijalankan oleh Kopdit-Kopdit.

 Siapa boleh menabung sipita?

  1. Para Anggota Kopdit Melati, Para Penabung Anggota Kopdit Melati secara sadar diri ikut aktif dalam rangka pemupukan modal koperasi.

  2. Para anggota Kopdit Melati, yang sedang meminjam uang senilai Rp 5 juta (dan lebih), sebesar 2 % dari total pencairan pinjaman.

 Syarat – syarat menabung sipita ?

  1. Anggota Kopdit Melati yang telah memiliki BA

  2. Menyadari dan memahami betapa pentingnya keswadayaan permodalan di Kopdit Melati

  3. SIPITA selalu bisa dikaitkan dengan kelipatan hak pinjaman anggota, serta diasuransikan ke Daperma

Syarat – syarat mengambil uang sipita

  1. SIPITA, seperti juga Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib, merupakan unsur permodalan koperasi.

  2. Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib bisa diambil sewaktu anggota mengundurkan diri sebagai anggota, keluar sebagai anggota, dikeluarkan sebagai anggota dan atau meninggal dunia

  3. Demikian juga SIPITA, baru bisa diambil seperti perihal diatas.

 Mengapa produk sipita diadakan

  1. Menjadi kenyataan, modal dengan cara swadaya yaitu mengumpulkan dana dari anggota lebih kokoh dan rnurah dari pada Jana dari luar Koperasi Melati.

  2. Banyak saran dari para anggota, agar membuka Produk SIPITA, guna memperkuat permodalan.

  3. Untuk jangka panjang keswadayaan modal Koperasi Kredit Melati, akan menjadi kuat.

  4. Sangat menguntungkan anggota, bila meminjam dalamjumlah besar.

 Apakah menguntungkan menabung di sipita ?

  1. Perhitungan bunga S:P1TA. dihitung dari saldo rata-rata akhir tiap bulan, dengan bunga 5 % setahun

  2. Bunga SIPITA pada akhir tahun. akin dimasukkan ke Simpanan Sukarela dari anggota yang bersangkutan.

  3. Contoh perhitungan Bunga SIPIT. Tgl menabung I-3-200/; senilai Rp 4.000.000. Bunga pada 31-12-2004 = 5 % x Rp 4 juta x 10’12 = Rp 166.667.

Kapan saya mulai …?

  1. Saat yang paling tepat menabung SIPITA adalah Saat anda meminjam Rp 5 juta (atau lebih)

  2. Saat anda menyadari, bahwa swadaya permodalan memang perlu dimulai sejak sekarang. schingga pada 5-10     tahun kedepan, pasti permodalan Koperasi Melati, sudah terhentuk secara swadaya benar-bena

 Mengapa penabung SIPITA senang ?

  1. Penabung SIPITA menyadari diri hahwa swadaya permodalan perlu dukungan dari semua anogota Kopdit Melati.
  2. Penabung SIPITA menyadari, bahwa permodalan dengan dipikul bersama-sama setiap anggota akan terasa ringan.
  3. Penabung SIPITA menyadari juga, SIPITA merupakan bagian dari hak kelipatan  pinjaman.

  4. Penabung SIPITA menyadari. aman menabungg di SIPITA karena diasuransikan  

Benarkah SIPITA diberlakukan bi beberapa koperasi ?

Memang di beberapa Koperasi  Kredit SIPITA sangat digalakkan, beberapa kopdit yaitu

  1. Kopdit Takera Jakarta                      2 – 3 %   dari tabungannya

  2. Kopdit Bina Seroja Jakarta                     2 %   dari pinjaman

  3. Kopdit Sehati Jakarta                            2 %   dari pinjaman

  4. Puskopdit Bogor Banten                     7,5 %   dari pinjaman

  5. Kopdit Melati Depok                             2  %   dari pinjaman Rp 5 juta (dan lebih)

Tabungan SIPITA adalah Simpanan anggota dan dengan demikian merupakan tabungan yang perlu dikelola manajemen secara sunguh sungguh.  

 Produk ini dapat di download disini ( File berformat word, size 106 kb)